Jam Gadang adalah
nama untuk menara jam yang
terletak di pusat kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia. Menara jam
ini memiliki jam dengan
ukuran besar di empat sisinya sehingga dinamakan Jam Gadang, dalam bahasa Minangkabau yang
berarti "jam besar".
Selain
sebagai pusat penanda kota
Bukittinggi, Jam Gadang juga telah dijadikan sebagai objek wisata dengan
diperluasnya taman di
sekitar menara jam ini. Taman tersebut menjadi ruang interaksi masyarakat baik
di hari kerja maupun dihari libur.
Acara-acara yang sifatnya umum biasanya diselenggarakan di sekitar taman dekat
menara jam ini.
Bangunan
Jam Gadang
memiliki denah dasar seluas 13 x 4 meter. Bagian dalam menara jam setinggi 26 meter ini terdiri
dari beberapa tingkat, dengan tingkat teratas merupakan tempat penyimpanan bandul.
Terdapat 4 jam dengan diameter masing-masing
80 cm pada Jam Gadang. Jam tersebut didatangkan langsung dari Rotterdam, Belanda melalui pelabuhan Teluk Bayur dan
digerakkan secara mekanik oleh mesin yang
hanya dibuat 2 unit di dunia, yaitu Jam Gadang itu sendiri dan Big Ben di London, Inggris. Mesin jam
dan permukaan jam terletak pada satu tingkat di bawah tingkat paling atas. Pada
bagian lonceng tertera pabrik pembuat jam yaitu Vortmann Relinghausen. Vortman
adalah nama belakang pembuat jam, Benhard Vortmann, sedangkanRecklinghausen adalah
nama kota di Jerman yang
merupakan tempat diproduksinya mesin jam pada tahun 1892.
Jam Gadang
dibangun tanpa menggunakan besi peyangga
dan adukan semen. Campurannya hanya kapur, putih telur, dan pasir
putih.
Sejarah
Jam Gadang
selesai dibangun pada tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook
Maker, sekretaris atau controleur Fort de Kock (sekarang
Kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia-Belanda. Arsitektur
menara jam ini dirancang oleh Yazid Rajo Mangkuto,
sedangkan peletakan batu pertama dilakukan oleh putra pertama Rook Maker yang
pada saat itu masih berusia 6 tahun.
Pembangunan
Jam Gadang menghabiskan biaya sekitar 3.000 Gulden, biaya yang
tergolong fantastis untuk ukuran waktu itu. Sehingga sejak dibangun dan sejak
diresmikannya, menara jam ini telah menjadi pusat perhatian setiap orang. Hal
itu pula yang mengakibatkan Jam Gadang kemudian dijadikan sebagai penanda atau markah tanah dan juga
titik nol Kota Bukittinggi.
Sejak
didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada bentuk
atapnya. Awal didirikan pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, atap pada Jam
Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di
atasnya. Kemudian pada masa pendudukan
Jepang diubah menjadi bentuk pagoda. Terakhir
setelah Indonesia merdeka,
atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.
Renovasi
terakhir yang dilakukan pada Jam Gadang adalah pada tahun 2010 oleh Badan
Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dengan dukungan pemerintah kota Bukittinggi
dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Renovasi
tersebut diresmikan tepat pada ulang tahun kota Bukittinggi yang ke-262 pada
tanggal 22 Desember 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar